Strobo, dalam idealnya, adalah cahaya penolong. Namun, dalam konteks Indonesia, ia sering kali menjadi cahaya yang menyoroti ketidakadilan. Artikel ini membahas paradoks tersebut, melihat bagaimana sebuah alat teknis bisa menjadi metafora yang kuat untuk menggambarkan kesenjangan sosial yang terjadi di negara ini.
Fungsi Ideal vs. Realita Penyimpangan Strobo
Secara ideal, fungsi strobo adalah tunggal: menyelamatkan. Ia adalah bagian dari sistem darurat yang bertujuan meminimalisir korban jiwa. Akan tetapi, realita di lapangan menunjukkan penyimpangan yang masif. Strobo digunakan untuk konvoi pejabat dalam perjalanan non-protokoler, untuk mengantar pengantin, atau sekadar untuk menghindari macet. Penyimpangan ini mengubah makna strobo dari penyelamat menjadi pemeras jalan. Setiap kedipannya yang tidak pada tempatnya adalah pengingat bahwa ada sekelompok orang yang mampu “membeli” kenyamanan dengan mengorbankan hak orang banyak.
Strobo sebagai Metafora Kesenjangan Ekonomi dan Sosial
Penyalahgunaan strobo adalah metafora yang sempurna untuk kesenjangan ekonomi dan sosial. Bayangkan sebuah jalan raya sebagai miniatur negara. Semua warga (pengendara) seharusnya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Namun, kehadiran kendaraan ber-strobo yang melenggang begitu saja melambangkan adanya kelas elit yang dapat mengakses “jalur cepat” dalam kehidupan. Sementara kelas pekerja, yang diwakili oleh pengendara motor dan mobil biasa, harus berjuang dalam kemacetan yang sama, harus kembali mengalah. Strobo adalah representasi visual dari privilege yang tidak terbantahkan, sebuah cahaya yang menerangi lebar nya jurang antara si kaya dan si miskin, antara yang berkuasa dan yang dikuasai.
Menguatkan Regulasi untuk Memutus Mata Rantai Kesenjangan
Untuk memutus mata rantai simbolis ini, langkah hukum harus lebih diperkuat. Regulasi yang ada, seperti UU LLAJ, perlu disosialisasikan lebih masif dan penegakannya harus menjadi prioritas. Teknologi, seperti tilang elektronik, dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi penggunaan strobo yang tidak sah di jam-jam tertentu atau di lokasi yang bukan merupakan rute darurat. Selain itu, sanksi yang diberikan haruslah bersifat memberi efek jera, bukan sekedar teguran. Tujuannya adalah untuk menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk privilege ilegal di jalan raya Indonesia.
Mengembalikan marwah strobo adalah sebuah perjuangan untuk merebut kembali makna kesetaraan. Ini adalah upaya kolektif untuk memastikan bahwa setiap kilatan cahaya di jalan raya memiliki tujuan yang mulia dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan menertibkan penggunaan strobo, kita sedang membangun sebuah pesan bahwa di republik ini, semua warga negara setara di depan hukum dan berhak atas rasa keadilan, bahkan di aspal sekalipun. Mari jadikan strobo kembali sebagai simbol harapan, bukan pembeda.